Ayyam Al-‘Arab Dan Pasar Seni Arab Jahiliyah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesusasteraan arab terus mengalami dinamika sejak masyarakat arab menghadapi lingkungannya; geografis yang amat memungkinkan timbulnya imajinasi dan kreativitas. Yakni sebuah kebudayaan yang terbentuk sebagai ekspresi purba dan menyatakan kehendak. Perang dan anggar garis keturunan ke atas. Ayyam al ‘Arab, yaitu peristiwa-peristiwa penting yang menimpa masyarakat Arab dan al ansab (geneologi) yang membuat silsilah keturunan, secara umum menjadi simbol kebanggan bagi masyarkat Arab. Dua jenis pengetahuan ini banyak terekam karya sastra (Dr. H. Ahmad Muzakki, M.A, 2011;1).
150 tahun sebelum syiar Islam datang, masyarakat timur tengah boleh dikategorikan purba. Karena mereka memiliki tradisi yang berat bagi kehidupan. Bagaimana perempuan yang baru lahir harus dikubur hidup-hidup karena tidak mampu berperang mengalahkan pihak lawan. Dan justru memperlemah kekuatan kabilah.Tujuan dan bentuk puisi pun secara alamiah memang murni dari alam. Seperti hentak kuda dan pelecehan suku lawan dengan habis-habisan, menjadi petunjuk kesusteraan arab mereka. Mereka pun mengapresiasi puisi terbaik untuk ditunjukkan kepada semua orang di kabbah dengan menggantungnya.
Sejalan dengan fase kehidupan, berangsur-angsur dari syiar Islam, perlu suatu sistem untuk menghimpun rakyat, kedaulatan, dan wilayah sehingga terbentuknya kerajaan-kerajaan paska wafatnya Rasulullah di timur tengah, sampai bagaimana peradaban Islam di Eropa menandai satu massa di mana kesusasteraan tidak menggeliat seperti di zaman jahiliyah dan Islam. Sebab negara-negara timur tengah mulai mendirikan kerajaan dan fokus kepada pembentukan dan pertahanan negaranya masing-masing. Untungnya di satu titik ada di masa dinasti Abbasiah, lembaga penerjamahan (dar al hikmah) sangat membantu mengembangkan karya sastra dan di bidang keilmuwan lain. Justru ketika Turki sebagai negara eropa yang merupakan bagian dari peradaban Islam masuk ke timur tengah, menyebabkan bahasa dan sastra Arab semakin jauh dari kesusasteraan arab. Karena percampuran bahasa dan represif bahasa negara.
Ketika Mesir dan negara timur tengah lainnya menjadi objek pendudukan Francis, para kolonial memperkenalkan kepada mereka pemberitaan, lembaga penerbitan, dan majalah. Sebagai satu titik di mana mereka juga memperkenalkan kesusteraan Francis bagi negara mereka. Gubernur Mesir, Muhammad Ali merasa perlu mengirim orang-orang untuk mendalami dan mempelajari kesusasteraan negara-negera Eropa. Sehingga studi demikian sebagai pertanda adanya kebaharuan di bidang kesastraan yang akan dibawa pulang. Upaya demikian juga memicu bentuk baru dalam karya sastra.
Ketika madrasah dan lembaga keilmuwan yang telah ada digunakan untuk mengapresiasi karya sastra dari studi ke eropa, maka memudahkan untuk mempelajari sebanyak mungkin peradaban eropa. Sungguh telah bertambah perhatian studi sejarah bentuk kesastraan sejak abad 19 tahun di eropa. Dalam buku  Sastra Arab Modern (fi al Adab al Hadis), Dr. Hasan Hanafi menyebutkan bahwa madrasah bentuk kesastraan telah berkembang di abad ke-20 dan telah ada dari dua agama yakni Protestan dan madrasah Tubnjan. Dan telah dimulai kritik sejarah untuk kitab suci pada abad ke-18, kemudian muncul madrasah kesejarahan pada abad ke-19 dan ilmu sejarah perbandingan agama, lalu muncul pula penelitian-penelitian studi sejarah bentuk kesastraan dua kitab suci dan kesastraan klasik khususnya dari peradaban yunani dan peradaban yahudi.  Kritik dari madrasah terbaru telah berganti dari “kritik sumber” menjadi “kritik bentuk”, atau sebagaimana istilah ulama-ulama studi hadis, perpindahan dari kritik “sanad” kepada kritik “matan”, dan madrasah yang baru telah meminjam bentuk kesastraan dari kritik sastra kompatibel dari teori umum karena sejarah sastra adalah sejarah bentuk kesastraan, madrasah yang baru bergantung pada studi-studi jenis-jenis kesastraan pada sastra klasik, dan perkembangan kritik sastra (Dr. Majid So’idi, 17).
Bagaimana kesastraan arab mengalami totalitas identitas yang berubah seiring bagaimana sebuah negara atau pembentukan negara terus berlangsung mengalami dinamika. Secara sederhana, identitas keindahan dan wazan puisi arab tidak kalah baik dan indah bila membaca karya sastra modern yang sudah bebas tanpa ada ikatan wazan

B.     RUMUSAN MASALAH
1.         Apa pengertian ayyam al-‘arab?
2.         Apa hubungan ayyam al-‘arab dengan perkembangan sastra (puisi) ?
3.         Bagaimana nilai pasar sebagai pusat penyebaran puisi jahiliyah?

C.    TUJUAN PENULISAN
1.              Untuk mengetahui pengertian ayyam al-‘arab?
2.             Untuk mengetahui hubungan ayyam al-‘arab dengan perkembangan sastra (puisi)
3.             Untuk mengetahui Bagaimana nilai pasar sebagai pusat penyebaran puisi jahiliyah ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN AYYAM AL-‘ARAB
            Ayamul ‘Arabi adalah sebutan untuk peristiwa-peristiwa bersejarah pada jaman Jahiliyah. Pada masa Jahiliyah, jazirah Arab dipenuhi dengan peperangan. Perang menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan mereka. Perang tidak hanya mereka lakukan untuk merebut sebuah daerah, perebutan air, melindungi saudara mereka, tapi juga mereka jadikan sebagai ukuran kehebatan sebuah kaum. Hampir semua masalah yang ada di antara mereka diselesaikan dengan peperangan, karenanya bagi mereka perang menjadi suatu hal yang sangat penting dan berarti.
            Peperangan demi peperangan yang terjadi pada masa itu, tertanam dan membekas di kedalaman lubuk mereka, sehingga banyak syair yang muncul akibat adanya peristiwa-peristiwa (Ayamul ‘Arabi) ini. Peristiwa-peristiwa ini dianataranya adalah peperangan antara orang arab dengan orang Faras disebut dengan Yaum Dzi Qar, peperangan antara orang Yaman dan orang Nazaret dinamakan Yaum Khuzaji, Yaum Halimah yaitu peperangan antara orang Manadziroh dan Ghasasanah, Yaum Zurin yaitu peperangan antara orang Rabi’ah dan orang Nazaret, peperangan antara orang ‘Abas dan Dzibyan dinamakan Perang Dahis dan Ghabra, dan peperangan Yabus antara orang Bakr dan orang Taghlab . Peperangan-peperangan ini telah menjadi inspirasi bagi syair-syair mereka, seandainya tidak ada peperangan ini barangkali syair Jahili yang sampai kepada kita hanya sedikit jumlahnya.[1]


[1] IKIP Malang. 1976. Penyederhanaan dalam Pembahasan Kesusastraan Arab dan Sejarahnya. Malang: Sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran, Hal 61-62
 

B. HUBUNGAN AYYAM AL-‘ARAB DENGAN PERKEMBANGAN SASTRA
            Salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan “hari-hari orang Arab” (ayyam al-Arab). Ayyam al-‘Arab merujuk pada permusuhan antarsuku yang secara umum muncul akibat persengketaan seputar hewan ternak, padang rumput, atau mata air Persengketaan itu menyebabkan seringnya terjadi perampokan dan penyerangan, memunculkan sejumlah pahlawan lokal, para pemenang dari suku-suku yang bersengketa, serta menghasilkan perang syair yang penuh kecaman di antara penyair yang berperan sebagai juru bicara setiap pihak yang bersengketa. Meskipun selalu siap berperang, orang-orang Badui tidak serta-merta berani mati. Jadi, mereka bukanlah manusia haus darah seperti yang mungkin dikesankan dari kisah-kisah yang kita baca. Meskipun demikian, Ayyam al-‘Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang – orang Badui, yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat Ayyam al-‘Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka.
            Rangkaian peristiwa dari masing-masing hari ini, seperti yang diriwayatkan kepada kita, kurang lebih mengikuti pola yang sama. Pada mulanya, sengketa hanya melibatkan segelintir orang yang menyebabkan munculnya sengketa perbatasan dan penghinaan terhadap seseorang. Pertikaian itu kemudian menjadi persoalan seluruh suku. Perdamaian biasanya berakhir setelah ada campur tangan dari pihak yang netral. Suku yang menderita korban lebih sedikit akan membayar sejumla huang tebusan kepada suku lawannya sesuai dengan selisih korban. Kenangan akan para pahlawan akan tetap hidup selama berabad-abad.
            Ayyam al- ‘Arab menjadi media yang cukup efektif bagi perkembangan sastra  Arab. Peran penyair dalam peperangan sangat besar; sebagai motivator atau untuk menjatuhkan lawan secara psikologis dengan Syi’r-Syi’r hija’nya yang pedas.Syi’r-Syi’r legendaris juga banyak lahir dari medan perang seperti Syi’r-Syi’rnya Antarah, Syanfara dan lain-lainnya.[2]


[2] Hitti, Philip k. 2010. History of theArabs. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta

A.    NILAI PASAR SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN PUISI JAHILIYAH

1.      Pasar Arab
      Jika orang-orang modern mengenal pasar hanya sebagai tempat transaksi jual-beli, maka orang-orang Arab klasik tidak mengenal fungsi pasar hanya sebatas itu saja. Jika orang-orang abad modern ini memahami bahwa pasar itu dibuka setiap hari, maka beda lagi dengan orang-orang Arab kuno, pasar itu bisa jadi hanya berlangsung satu tahun sekali. Dan pasar yang paling terkenal bagi bangsa Arab kuno adalah Pasar Ukaz.
      Pasar Ukaz adalah pasar dimana para pedagang dan pembisnis mengadakan transaksi jual-beli. Para politisi mengadakan lobi-lobi penting. Mereka merundingkan perdamaian, persekutuan, atau bahkan membicarakan rencana peperangan. Dan di Pasar Ukaz pula para penyair dan orator unjuk kemampuan, membacakan untaian kalimat indah yang mereka susun sekaligus mengungkapkan isu-isu hangat yang sedang terjadi.
      Orang-orang dari berbagai kabilah berkumpul di sana; Quraisy, Hawazin, Salim, al-Ahabisy (Habsyi), Musthaliq, Aqil, dan lain-lain.
      Ukaz merupakan pasar kuno yang paling terkenal di Semenanjung Arabia. Nama tersebut diambil dari apa yang dikerjakan orang Arab di tempat tersebut, mereka memamerkan prestasi dan nenek moyang mereka, unjuk kekuatan, kedermawanan, dan kepandaian melobi serta adu argumentasi. Semua aktivitas tersebut adalah makna dari Ukaz. Ia merupakan tempat orang-orang Arab berbangga-bangga dengan apa yang mereka miliki. Oleh karena itu, disebutkan at-Ta’akazha maknanya at-Tafakhara (Arab: التعاكظ بمعنى التفاخر), saling berbangga (Aswaq al-Arab fi al-Jahiliyati wa al-Islam, Said bin Muhammad al-Afghani, Hal: 286-289). Saat Islam tersebar, kebiasaan berbangga di Ukaz ini pun hilang Pasar ini diprediksi pertama kali diadakan sebelum tahun 500 M.
      Pasar Ukaz terletak di al-Atsdia, yakni sebuah daerah antara Mekah dan Thaif; satu malam dari Thaif dan tiga malam dari Mekah. Disebutkan, di Ukaz juga terdapat sebuah monumen yang dibuat oleh orang-orang Jahiliyah yang berfungsi sebagai tempat tawaf mereka. Letaknya di sebuah tanah lapang yang terdapat aliran air irigasi untuk perkebunan kurma. Dalam Perang Fijar, orang-orang Quraisy minum di daerah Ukaz.
      Pasar ini diadakan pada Dzu al-Qa’dah, berlangsung sekitar 15 sampai 20 hari. Para pedagang membawa barang menggunakan onta atau keledai menuju Pasar Ukaz. Barang dagangan yang dijual pedagang Badui antara lain permadani, tenda, bulu domba, tembikar, peralatan, perhiasan, parfum, hasil bumi, dan rempah-rempah.

2.      Sejarah Pasar Ukaz
      Al-Alusy menyatakan bahwa Ukaz adalah momen yang besar dari beberapa momen yang ada. Ia dijadikan sebagai sebuah pasar 15 tahun setelah tahun gajah (tahun gajah terjadi pada 570-571 M pen.) dan beberapa tahun setelah terjadi Perang Fijar di daerah tersebut. Saat Perang Fijar Nabi Muhammad masih berumur 14 tahun. Beliau turut serta dalam perang tersebut membantu menyiapkan anak panah untuk paman-pamannya.
      Namun, pendapat al-Alusy itu dibantah oleh sejarawan lainnya. Mereka menyatakan ada seorang wanita yang menjual mentega atau lemak di Ukaz lalu dinikahi oleh Abdu asy-Syams. Amr bin Kultsum dicatat membaackan syair dan kasidahnya di Ukaz sekitar tahun 500 M. Kemudian dalam kitab ar-Risalah oleh Ahmad Amin juga disebutkan bahwa al-Marzuqi telah berkuasa di Ukaz beberapa puluh tahun sebelum datanganya Islam. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa Pasar Ukaz telah ada sebelum tahun 500 M adalah pendapat yang kuat (Akhbar Mekah wa maa Ja-a fiha min al-Atsar oleh al-Azraqi, Hal: 129).
      Ketenaran dan kebesaran nama Ukaz di kalangan bangsa Arab terus berlangsung hingga datangnya Islam. Pasar ini mulai turun pamornya dan hilang pada tahun 129 H. Hal itu lantaran munculnya gerakan Khawarij Haruriyah, mulailah terjadi penjarahan di pasar ini dan orang-orang pun khawatir akan keselamatan mereka. Akhirnya momen besar ini mulai ditinggalkan dan tidak disemarakkan lagi.

3.      Kemeriahan Pasar Ukaz
      Telah disebutkan, Pasar Ukaz bukanlah layaknya pasar yang kita kenal pada hari ini. Pasar ini lebih mirip pekan raya; sebuah even besar, berlangsung selama satu pekan atau lebih, dan diadakan satu tahun sekali. Di pekan raya juga tidak hanya dilangsung kegiatan perniagaan, akan tetapi juga diselenggarakan beberapa acara lainnya.
      Ukaz adalah pekan raya kebanggaan bangsa Arab jahiliyah. Kebanggan yang memuat segala hiburan duniawi yang mereka senangi, sama seperti pekan raya yang terjadi pada hari ini dengan berbagai hiburan yang disenangi orang-orang masa kini. Dahulu, orang-orang Arab sangat kagum dengan kepandaian bahasa dan keindahan syair, maka di Ukaz dipamerkanlah tujuh syair terbaik di masa jahiliyah yang mereka gantungkan di dinding Ka’bah (sab’u mu’allaqat). Tampillah penyair-penyair handal dari berbagai kabilah menasyidkan syair-syair dan karya sastra mereka. Karya yang baru dan orisinil, akan mendapat pujian. Dan karya tiruan akan diremehkan. Bagi mereka yang ingin mempopulerkan dan membuat syair mereka melegenda, maka Ukaz lah tempatnya.
      Geliat perdagangan juga begitu semarak di Ukaz. Para pedagang dari segala penjuru jazirah berkumpul di sana. Mereka membawa barang dagangan dan hasil kerajinan. Anggur (khamr) terbaik dari Irak, Gaza, dan Bosra (kota di Suriah) hadir sebagai komoditi unggulan. Demikian juga mentega dari daerah-daerah pedesaan. Zaitun dan kismis dari Syam. Ada juga kulit dan celak dari Yaman. Di sana juga diperdagangkan funitur-furnitur berharga dan senjata. Tidak ketinggalan, ada juga pedagang yang menjual sutra, minyak wangi, bejana-bejana, sepatu, alat-alat traveling (safar), dan alat pertanian. Orang-orang Quraisy biasa menyiapkan kafilah mereka membawa barang-barang tersebut untuk dipakai atau dijual kembali di Mekah.
      Selain barang-barang kebutuhan dari jenis benda mati, di Ukaz juga diperjual-belikan budak dan hewan-hewan. Sebagaimana halnya Ummul mukminin Khadijah binti Khuwailid radhiallahu ‘anha membeli Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu di Pasar Ukaz. Budak-budak yang diperjua-belikan di Ukaz kebanyakan hasil dari peperangan.
      Kemeriahan Ukaz juga dilengkapi dengan kehadiran para ahli pidato dan orasi. Sebut saja Qis bin Sa’adah. Ia berpidato di hadapan khalayak, mengingatkan mereka akan sang pencipta, menyanjung-nyanjung para leluhur, dan menyeru kepada kebaikan. Dan di Ukaz juga terjadi peristiwa-peristiwa besar dalam dunia politik dan kekuasaan. Terkadang kepala kabilah diangkat di sana dan para jagoan unjuk kekuatan. Sebagaiman disebutkan Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya bahwa Umar bin al-Khattab pernah bertarung di Ukaz.
      Di Ukaz juga terdapat para dukun dan tukang ramal yang membuka praktik mereka. Sampai para ayah yang mencari menantu untuk menikah dengan putri-putri mereka pun ada di Ukaz.
      Al-Marzuqi berkata, “Di Ukaz terdapat hal-hal yang berbeda dengan pasar-pasar Arab lainnya. Raja-raja Yaman mengirimkan pedang yang terbaik, kemah yang bagus, dan kendaraan yang gagah dan lincah untuk dihadiahkan kepada pemuka bangsa Arab”. Raja-raja Yaman ingin mengambil hati pemuka Arab untuk memperluas pengaruh mereka.
      Demikian juga Kisra. Ia mengirimkan hadiah berupa pedang yang tajam, kuda yang bagus, dan kemah yang mewah lalu dipamerkan di Ukaz. Setelah itu, utusan Kisra mengumumkan, “Ini adalah hadiah dari raja kepada pemuka Arab”. Lalu majulah orang yang paling ditokohkan dan paling berpengaruh di kalangan bangsa Arab untuk mengambil hadiah tersebut. Tokoh Arab terakhir yang mengambil hadiah dari Kisra di Ukaz adalah Harb bin Umayyah. Dengan hadiah tersebut, Kisra berharap loyalitas bangsa Arab kepada Persia ketika mereka dibutuhkan (Mutsiru al-‘Azmi as-Sakin fi Fadha-il al-Biqa’ wa al-Amakin oleh Ibnul Jauzi).

4.      Pasar Ukaz Sebagai Pertemuan Politik
      Para politisi dari para pembesar kabilah juga memanfaatkan Ukaz sebagai forum mereka. Mereka membahas permasalahan yang terjadi di Jazirah Arab. Dan menyelesaikan beberapa sengketa antar kabilah. Bagi siapa yang ingin mengumumkan peperangan, maka Ukaz juga jadi tempat yang tepat untuk mengumumkannya.
      Ukaz layaknya forum bangsa-bangsa (PBB), namun di Ukaz kabilah yang kuat tidak selalu memenangkan lobi. Tidak mesti keputusan yang dihasilkan selalu berpihak kepada mereka. Keputusan yang ditetapkan adalah kepututsan yang menaungi kepentingan bersama.
      Kalau orang-orang modern memiliki kantor berita, maka orang-orang Arab dahulu memiliki Ukaz yang memegang peranan yang sama dengan hal itu (al-‘Aqdu ats-Tsamin fi Syarhi Ahadits Ushul ad-Din oleh Husain bin Ghanaam, Hal: 31). Di Ukaz orang-orang mengumumkan perjanjian damai, penghianatan, pemutusan tali kerabat, peperangan, berita kematian, laqob, dan lain-lain.
      Seperti perkataan Khaulah binti Tsa’labah kepada Umar bin al-Khattab.

إيهًا يا عمر، عهدتك وأنت تسمى عميرا في سوق عكاظ تزع الصبيان بعصاك، فلم تذهب الأيام حتى سميت عمر، ولم تذهب الأيام حتى سميت أمير المؤمنين
Wahai Umar, dulu aku menemuimu saat engkau masih bernama Umair di pasar Ukaz. Engkau menakut-nakuti anak-anak dengan tongkatmu. Hingga hari berlalu dan namamu berganti ‘Umar. Dan masa terus berlalu hingga engkau menjadi seorang Amirul Mu’minin…” (Diriwayatkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya).
     Peranan Ukaz dalam perpolitikan masyarakat Arab menunjukkan bahwa Ukaz bukanlah sekedar pasar biasa. Ia adalah sebuah momen yang sangat istimewa dan even yang besar bahkan lebih besar dari even pekan raya yang kita kenal di zaman modern sekarang ini. Dan apa yang terjadi di Ukaz, juga terjadi di pasar-pasar lainnya, namun tidak sebesar Ukaz. Orang-orang Arab pun tidak memanfaatkan pasar lain sebagaimana mereka memanfaatkan Ukaz untuk segala keperluan mereka.
     Padat dan ramainya Ukaz membuat para pedagang kian bersemangat meramaikannya dengan berbagai macam barang dagangan. Mereka memperoleh laba yang sangat besar dari Ukaz. 35 tahun setelah tahun gajah, orang-orang kian ramai datang ke Ukaz. Orang-orang Nizar dan Yaman datang dalam kafilah dagang besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Orang-orang menjual onta, sapi, dan barang-barang dari Mesir, Irak, dan Syam.

5.      Pasar Ukaz di Masa Islam
      Setelah Islam datang, Ukaz tidak lagi semeriah masa-masa sebelumnya. Di antara penyebabnya adalah:
      Pertama: Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Ukaz adalah tempat yang istimewa dan tempat berniaga di masa Jahiliyah. Ketika Islam datang, orang-orang mulai meninggalkannya hingga Allah menurunkan ayat ‘Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu di musim haji’. Mereka sibuk dengan menunaikan ibadah haji dan tidak melakukan aktivitas perdagangan. Allah turunkan ayat:

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلاً مِنْ رَبِّكُمْ
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah: 198). (Diriwayatkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya).
     Dan demikianlah memang keadaan orang-orang Arab jahiliyah, mereka menganggap berdosa melakukan perniagaan di musim haji. Mereka tidak berhaji dan juga tidak berdagang. Oleh karena itu, pasar-pasar mereka tidak diadakan di musim haji. Hingga Allah menurunkan firma-Nya:
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu.” (QS. Al-Baqarah: 198).
     Mereka pun mendapat keringanan untuk berniaga dan membawa barang-barang dagangannya. Allah halalkan berniaga di musim haji (Tafsir al-Qurthubi).
     Kedua: Hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah.
     Hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah berpengaruh besar pada perekonomian masyarakat Mekah. Termasuk di antaranya berimbas ke Pasar Ukaz. Sebagian tokoh-tokoh Quraisy turut serta bersama Nabi menuju Madinah.
     Mereka pun meramaikan pasar-pasar Madinah. Para sahabat sangat senang untuk selalu dekat dan senantiasa mendapingi Rasulullah. Kebersamaan itu lebih mereka cintai daripada melakukan aktivitas berdagang yang mengharuskan mereka bersafar keluar Madinah.
     Kemudian ada juga yang beralih profesi dari pedagang menjadi petani. Aktivitas politik dilakukan dengan mengutus duta, tanpa harus bertatap muka antar pemimpin. Dan kegiatan jihad juga membuat orang-orang tidak lagi mementingkan Ukaz.

6.      Pasar Ukaz di Zaman Modern
      Di era modern Raja Faisal bin Abdul Aziz meminta kepada para ahli dan ilmuwan untuk mengidentifikasi lokasi Ukaz, dengan cara meneliti kembali catatan-catatan kuno dan dokumen-dokumen sejarah. Dari data-data arkeologi tersebut akhirnya lokasi Ukaz ditemukan di dekat Thaif di tempat yang dikenal al-Atsdia. Pameran budaya Arab kuno di Ukaz pada tahun 2009.
      Setelah 1300 tahun, pasar tersebut dioperasikan kembali dan diresmikan oleh Gubernur Mekah, Pangeran Khalid bin Faisal, putra Raja Faisal. Peristiwa tersebut berlangsung selama 7 hari dan diisi dengan penjualan bermacam-macam barang, baik tradisional maupun modern. Di sana juga dipamerkan syair Arab kuno yang ditulis dengan tinta emas, untuk disaksikan pengunjung serta diisi dengan pentas seni budaya lainnya.
      
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEHENDAK MUTLAK TUHAN DAN KEADILAN TUHAN

HUKUM BACAAN TAFKHIM DAN TARKIK, MADD DAN QHASAR, WAQOF DAN IBTIDA’ DAN KHAT USMANY